Pertanyaan:
Apakah benar bahwa wanita yang bercadar boleh membuka cadarnya pada beberapa keadaan tertentu? Mohon penjelasannya ustadz.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, wash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du,
Sebelumnya kami ingin menekankan bahwa menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam, dan diajarkan oleh para ulama semua madzhab. Bukan budaya Arab dan bukan ajaran radikal. Ulama madzhab yang 4 memerintahkan wanita untuk menutup wajah, walaupun mereka berbeda pendapat antara sunnah dan wajib. Di antara dalilnya firman Allah ta’ala:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab: 59).
Adanya khilafiyah tersebut karena para ulama berbeda pendapat mengenai apakah wajah termasuk aurat atau bukan. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak wajibnya menutup wajah dan telapak tangan, namun hukumnya sunnah (dianjurkan). Dan ini pendapat yang dikuatkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Sedangkan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat wajibnya menutup wajah dan telapak tangan. Dan ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta‘.
Jika penjelasan di atas dipahami, maka bagi wanita Muslimah yang berpegang pada pendapat ulama yang tidak mewajibkan untuk menutup wajah, boleh bagi mereka membuka wajahnya dan telapak tangannya. Namun lebih utama menutupnya.
Sedangkan bagi wanita Muslimah yang berpegang pada pendapat ulama yang mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan, maka wajib mereka untuk istiqomah menutup wajah dan telapak tangan dan tidak membukanya di hadapan lelaki non-mahram. Dan memang ada beberapa keadaan di mana mereka boleh membuka wajahnya, di antaranya:
1. Di depan keluarga yang termasuk mahram
Jika ada di depan keluarga yang masih termasuk mahram, seperti: ayah, ibu, mertua, saudara kandung, anak, kakek, nenek, dan semisalnya, tidak mengapa seorang wanita Muslimah memperlihatkan wajah. Asy-Syarwani berkata,
جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا
“Aurat wanita terhadap pandangan lelaki ajnabi (non-mahram), yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad.” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112).
Al-Juwaini mengatakan:
الْأَجْنَبِيَّةُ فَلَا يَحِلُّ لِلْأَجْنَبِيِّ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى غَيْرِ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ أَمَّا
“Adapun wanita ajnabiyah tidak halal bagi lelaki ajnabi untuk melihatnya kecuali wajah dan telapak tangan.” (Nihayatul Mathlab, 12/31).
Berarti di depan orang yang bukan ajnabi, boleh memperlihatkan wajah dan telapak tangan.
2. Saat ada lelaki yang melakukan nadzor untuk meng-khitbah-nya (meminangnya)
Islam mensyariatkan nadzor, yaitu lelaki yang ingin menikahi seorang wanita dipersilahkan melihat dari wanita tersebut hal-hal yang bisa membuatnya bersemangat untuk menikahinya. Di antara dalilnya, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فأتَاهُ رَجُلٌ فأخْبَرَهُ أنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الأنْصَارِ، فَقالَ له رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: أَنَظَرْتَ إلَيْهَا؟ قالَ: لَا، قالَ: فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إلَيْهَا، فإنَّ في أَعْيُنِ الأنْصَارِ شيئًا
“Suatu saat saya berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu datanglah seorang lelaki mengabarkan kepada beliau bahwa ia ingin menikahi seorang wanita Anshar. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah engkau sudah melihatnya?”. Ia berkata: “Belum!”. Nabi bersabda: “Kalau begitu pergilah dan lihatlah wanita Anshar tersebut, karena pada mata mereka terdapat sesuatu” (HR. Muslim no.1424).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
لا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافًا فِي إبَاحَةِ النَّظَرِ إلَى الْمَرْأَةِ لِمَنْ أَرَادَ نِكَاحَهَا
“Tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang bolehnya melihat wajah wanita bagi orang yang ingin meminangnya” (Al Mughni, 15/69).
Syaikh Khalid Al Musyaiqih menjelaskan bahwa bolehnya nadzor ini ada syarat-syaratnya:
1. Lelaki tersebut memiliki sangkaan kuat bahwa lamarannya akan diterima. Jika lelaki tersebut sudah tahu bahwa kalau ia melamar wanita-wanita yang ingin dia nikahi itu pasti lamarannya ditolak, maka tidak boleh nadzor. Dan kalau begitu apa faidahnya nadzor dalam hal ini?
2. Tidak boleh dilakukan dengan berdua-duaan (khalwat). Kalau dalam nadzor ini dilakukan dengan khulwah maka tidak diperbolehkan.
3. Aman dari letupan syahwat. Jika dengan nadzor itu timbul gejolak syahwat, maka wajib untuk segera menjauh dan tidak melanjutkan nadzor.
4. Dilakukan sekadar kebutuhan saja. Maksudnya jika sudah melihat si wanita lalu timbul perasaan dalam hatinya (sudah merasa senang, pent.), maka tidak perlu dilanjutkan lagi nadzor-nya
5. Hanya melihat 5 hal: Seorang lelaki yang ingin melamar seorang wanita jika ia ingin melihat si wanita tersebut, dibolehkan melihat 5 hal: wajah, leher, kepala, al qadam (kaki dari mulai mata kaki hingga ke bawah), al yadd (tangan dari pergelangan tangan hingga jari).
6. Hendaknya si wanita tampil seperti biasanya, karena ia adalah ajnabiyah (bukan mahram). Tidak boleh ia memakai perhiasan dan hal-hal yang diharamkan, karena bagi si lelaki tadi ia adalah ajnabiyah (bukan mahram). Namun bukan berarti si wanita tampil kusut berantakan.
(Fatwa Thariqul Islam, no.35987).
3. Ketika melakukan jual beli
Wanita juga dibolehkan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya ketika melakukan jual beli jika memang diperlukan. Agar tidak menimbulkan kesalahan sehingga terjadi kerugian dan hilang harta seorang Muslim. Karena harta seorang Muslim itu terjaga. Dari Jabir radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian“ (HR. Bukhari no.1739, Muslim no.1679).
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan:
وإن عامل امرأة في بيع أو أجارة فله النظر إلى وجهها ليَعْلَمَها بعينها فيرجع عليها بالدّرَك ( وهو ضمان الثمن عند استحقاق البيع ) ، وقد روي عن أحمد كراهة ذلك في حق الشابة دون العجوز ، وكرهه لمن يخاف الفتنة ، أو يستغني عن المعاملة فأما مع الحاجة وعدم الشهوة فلا بأس
“Jika seorang laki-laki berjual beli dengan wanita, atau sewa menyewa dengannya, maka ia boleh melihat wajah wanita itu untuk mengetahuinya. Sehingga ia bisa mengembalikan ad-darak (uang yang tertanggung dalam jual beli). Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau melarang untuk melihat pembeli wanita jika wanita tersebut masih muda, namun dibolehkan terhadap wanita lanjut usia. Dan beliau juga melarang melihat wanita yang dikhawatirkan bisa menimbulkan godaan atau jika jual beli dapat tercapai dengan baik tanpa melihat wajah wanita. Adapun jika memang dibutuhkan, dan tidak menimbulkan syahwat, maka tidak mengapa” (Al-Mughni, 7/459).
4. Dalam rangka pengobatan
Pada asalnya, wanita Muslimah hendaknya berobat kepada dokter Muslimah juga. Sehingga ia bisa membuka wajahnya dan bagian tubuhnya yang terkena penyakit atau butuh dibuka untuk pemeriksaan kesehatan.
Namun jika tidak didapati dokter Muslimah, wanita bercadar dibolehkan membuka wajahnya atau bagian tubuh lainnya yang terkena penyakit untuk diobati oleh dokter laki-laki. Jika memang ada kebutuhan mendesak untuk diobati dan wajib disertai mahramnya atau suaminya.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
يباح للطبيب النظر إلى ما تدعوا إليه الحاجة من بدنها من العورة وغيرها ، فإنه موضع حاجة
وعن عثمان أنه أتي بغلام قد سرق فقال : انظروا إلى مؤتزره ( أي موضع شعر العانة الدالّ على البلوغ من عدمه). فلم يجدوه أنبت الشعر ، فلم يقطعه
“Dibolehkan bagi seorang tabib (atau dokter) untuk melihat bagian aurat wanita yang dibutuhkan untuk diperiksa. Karena ini termasuk hajat (ada kebutuhan). Diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa pernah dibawa ke hadapannya seorang bocah yang mencuri. Beliau berkata: “Periksalah di dalam sarungnya!”. Maksudnya, periksalah apakah ia sudah tumbuh bulu kemaluannya, untuk mengetahui apakah ia sudah baligh atau belum. Ternyata mereka tidak mendapat adanya bulu kemaluan, sehingga beliau pun tidak memotong tangannya” (Al-Mughni, 7/459).
Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya membuat judul bab:
باب هل يداوي الرجل المرأة ، والمرأة الرجل
“Bab bolehkah lelaki mengobati wanita dan bolehkah wanita mengobati lelaki?”.
Kemudian beliau membawakan hadits dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu’anha (seorang sahabiyah), beliau berkata :
كُنَّا نَغْزُو مع رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: نَسْقِي القَوْمَ ونَخْدُمُهُمْ، ونَرُدُّ القَتْلَى والجَرْحَى إلى المَدِينَةِ
“Kami (para wanita) pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami memberi minum dan membantu kebutuhan para pasukan, serta membawa pasukan yang tewas dan terluka ke Madinah” (HR. Al Bukhari no.5679).
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan: “Hukum bolehnya laki-laki mengobati kaum wanita diambil berdasarkan qiyas (terhadap hadits di atas). Imam Al-Bukhari tidak menegaskan hukum tersebut karena masih ada kemungkinan hal itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab. Atau bisa jadi masing-masing wanita ketika itu hanya mengobati suaminya atau mahramnya saja. Adapun hukum masalah ini, kaum wanita boleh mengobati kaum pria dalam kondisi darurat, dan kebolehannya sebatas kedaruratannya terkait dengan masalah melihat aurat, memegang pasien atau semisalnya” (Fathul Bari, 10/136).
5. Untuk keperluan peradilan di pengadilan
Seorang wanita boleh menampakkan wajahnya ketika memberikan persaksian atau menjadi terdakwa atau menjadi penggugat di pengadilan. Agar tidak ada hak yang terlalaikan dan tidak ada orang yang terzalimi dalam pemutusan perkara. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
وللشاهد النظر إلى وجه المشهود عليها لتكون الشهادة واقعة على عينها ، قال أحمد : لا يشهد على امرأة إلا أن يكون قد عرفها بعينها
“Saksi boleh melihat wajah terdakwa agar persaksiannya tepat sasaran. Imam Ahmad berkata: Tidak boleh memberikan persaksian yang memberatkan seorang wanita kecuali saksi benar-benar mengenalinya” (Al-Mughni, 7/459).
6. Di hadapan anak laki-laki kecil yang belum baligh dan belum punya hasrat kepada wanita
Seorang wanita boleh menampakkan wajahnya di hadapan anak laki-laki yang belum baligh, karena mereka belum terkena beban syari’at.
Dan kebolehan hal ini disyaratkan anak tersebut belum punya hasrat kepada wanita. Sebagaimana dalam ayat hijab, yang dikecualikan oleh Allah untuk boleh melihat aurat wanita adalah:
أو الطّفل الذين لم يظهروا على عورات النساء
“… atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS. An Nur: 31).
Ibnu Qudamah mengatakan: “Anak laki-laki yang belum punya hasrat kepada wanita boleh melihat tubuh wanita pada bagian atas pusar dan di bawah lutut, menurut satu riwayat dari Imam Ahmad. Karena Allah ta’ala berfirman:
ليس عليكم ولا عليهم جناح بعدهن طوافون عليكم بعضكم من بعض
“Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain)” (QS. An Nur: 58).
Dan firman Allah ta’ala:
وإذا بلغ الأطفال منكم الحلُم فليستأذنوا كما استئذن الذين من قبلهم
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin” (QS. An Nur: 59).
Ayat-ayat di atas membedakan antara anak yang sudah baligh dan yang belum baligh. Imam Ahmad mengatakan:
حجم أبو طيبة أزواج النبي صلى الله عليه وسلم وهو غلام
“Abu Thaybah pernah membekam istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu ia masih seorang anak kecil”
(Al-Mughni, 7/458).
7. Di hadapan laki-laki yang sudah tidak punya nafsu syahwat
Seorang wanita boleh menampakkan wajahnya kepada laki-laki yang sudah tua renta dan tidak lagi memiliki nafsu syahwat.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan: “Wanita boleh menampakkan sebagian aurat terhadap laki-laki yang sudah tidak punya syahwat lagi. Baik karena sudah lanjut usia, atau lemah syahwat, atau karena sakit parah yang kecil kemungkinan sembuhnya, atau lelaki yang mengebiri kemaluannya, atau lelaki banci yang tidak punya hasrat kepada kaum wanita. Batasan aurat yang boleh diperlihatkan kepada mereka sama seperti batasan aurat kepada para mahram. Ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى الْأِرْبَةِ
“atau terhadap pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)” (QS. An Nur: 31).
Maksudnya yaitu laki-laki yang tidak punya hasrat lagi terhadap wanita. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini: “Maksudnya laki-laki yang para wanita tidak merasa segan kepadanya”. Dinukil juga dari beliau: “Maksudnya, lelaki banci yang impoten”. Mujahid dan Qatadah menafsirkan: “Yaitu laki-laki yang tidak punya keinginan syahwat kepada kaum wanita”. (Al-Mughni, 7/463).
8. Jika sudah menopause
Wanita lanjut usia yang sudah menopause boleh menampakkan wajahnya di depan laki-laki ajnabi. Namun menutup wajah dan memakai hijab yang sempurna lebih utama baginya. Allah ta’ala berfirman:
وَالْقَوَاعِدُ مِنْ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 60).
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan siapa wanita yang disebut al qawa’id dalam ayat ini. Beliau mengatakan: “Sa’id bin Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Adh Dhahhak, dan Qatadah menjelaskan makna al qawa’id adalah para wanita yang sudah tidak haid lagi dan kecil kemungkinannya untuk punya anak, serta mereka sudah tidak lagi menginginkan jimak. Yaitu para wanita yang sudah tidak lagi memiliki hasrat untuk menikah” (Tafsir Ibnu Katsir, 10/272).
Wanita yang demikian boleh membuka wajahnya. As Sa’di rahimahullah menjelaskan:
فهؤلاء يجوز لهن أن يكشفن وجوههن لأمن المحذور منها وعليها ، ولما كان نفي الحرج عنهن في وضع الثياب
“Wanita yang sudah tua dibolehkan bagi mereka untuk menampakkan wajah mereka. Karena mereka sudah aman dari perkara yang terlarang untuk mereka dan untuk orang lain. Dan juga dalam rangka menghilangkan kesulitan bagi mereka untuk menggunakan pakaian (yang lengkap)” (Taisir Karimirrahman, hal. 574).
9. Di depan sesama wanita
Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah mengatakan:
“Telah tersebar anggapan di masyarakat bahwa aurat wanita di depan wanita lain atau di depan lelaki yang menjadi mahramnya adalah antara pusar sampai lutut. Ini adalah sebuah kesalahan.
Yang benar adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam surat An Nuur:
ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن
“Dan seorang mukminah tidak boleh memperlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…” (QS. An Nuur: 31).
dan seterusnya Allah ta’ala menyebutkan orang-orang yang termasuk mahram.
Oleh karena itu yang diperbolehkan adalah memperlihatkan bagian tubuh yang menjadi tempat perhiasan. Sedangkan bagian tubuh yang bukan tempat perhiasan tidak diperbolehkan memperlihatkannya kepada orang lain kecuali suaminya. Hal ini berdasarkan keumuman hadits
المرأة عورة
“Wanita adalah aurat” (HR. Muslim no.338).
Misalnya rambut, ia adalah tempat perhiasan, maka boleh ditampakkannya (kepada wanita dan mahramnya). Begitu juga leher dan dada bagian atas adalah tempat perhiasan, maka boleh ditampakkannya. Demikian juga telapak tangan, dan betis serta betis yang biasa diberi khul-khul (gelang kaki), maka boleh ditampakkan.
Sedangkan menampakkan paha, dada, punggung atau semisalnya di depan wanita lain atau lelaki mahram, adalah perkara yang diharamkan.
Demikian juga tidak diperbolehkan memakai pakaian yang masih menampakkan aurat, semisal celana panjang yang ketat atau pakaian yang tipis, di depan lelaki mahram.
Sebaiknya wanita muslimah di depan lelaki mahram menggunakan pakaian sebagaimana yang digunakan ketika beraktifitas di dalam rumahnya, semisal gaun wanita yang panjangnya melebihi lutut, atau memakai celana panjang dengan gamis di atasnya, sehingga mengesankan lututnya bersambung, atau pakaian semacam itu.
Jika seorang muslimah hendak menyusui anaknya, maka hendaknya ia menutup dadanya dengan kain penutup dan jangan menampakkannya di depan ayahnya atau saudara lelakinya. Inilah rasa malu yang wajib dimiliki oleh setiap wanita dan dijaga baik-baik.
(Fatawa Syaikh Mayshur Hasan Salman, fatwa no.71, Asy Syamilah).
10. Ketika berihram untuk haji ataupun umrah
Wanita yang sedang dalam kondisi ihram untuk haji atau umrah boleh membuka wajahnya, bahkan mereka dilarang menggunakan niqab dan kaus tangan. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ولَا تَنْتَقِبِ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ، ولَا تَلْبَسِ القُفَّازَيْنِ
“Wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab dan tidak boleh memakai kaus tangan” (HR. Al Bukhari no.1838)
Namun para wanita tetap diperintahkan untuk menutup wajah mereka jika ada laki-laki non mahram, dengan menggunakan cara-cara lain. Seperti menggunakan ujung jilbab mereka, atau dengan sapu tangan atau cara yang lainnya. Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan:
كان الرُّكبانُ يَمُرُّونَ بنا ونحن مع رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُحرِماتٌ، فإذا حاذَوْنا سَدَلتْ إحدانا جِلْبابَها مِن رأسِها على وَجهِها، فإذا جَاوَزونا كَشَفْناه
“Dahulu orang-orang melewati kami ketika kami berihram untuk haji bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ketika ada lelaki yang melewati kami, kami gantungkan kain jilbab dari atas kepala kami sampai menutupi wajah. Jika mereka sudah berlalu, kami singkap wajah kami” (HR. Abu Daud no.1833, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Kitabus Sunnah [7/ 240]).
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Seorang wanita wajib menutup wajahnya (ketika ada lelaki) dengan selain burqa (niqab). Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu’anha … (kemudian beliau membawakan hadits di atas). Dan tidak mengapa jika kain yang digantungkan tersebut menyentuh wajahnya. Karena yang terlarang adalah memakai burqa dan niqab saja. Tidak dilarang menutup wajah dengan selain keduanya” (Al Mulakhas Al Fiqhi, hal. 228).
11. Dalam kondisi darurat
Dalam kondisi darurat di mana seorang wanita kesulitan untuk menutup wajahnya, ketika itu ada kelonggaran untuk membuka wajahnya. Allah ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan” (QS. Al An’am: 119).
Sehingga para ulama menetapkan kaidah:
الضرورة تبيح المحظورات
“Kondisi darurat membolehkan yang terlarang”.
Seperti membuka wajah untuk pembuatan kartu identitas atau paspor, pembuatan iqamah (izin tinggal), pembuatan kartu pelajar, demikian juga membuka wajah untuk pemeriksaan keamanan dari pemerintah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab:
لكن كشف الوجه للضرورة، في المسائل التي ذكرتها السائلة، عند الحاجة إلى أخذ صورة للوجه، وعند إبراز الصورة للتطبيق، إذا دعت الضرورة إلى ذلك؛ فلا حرج في ذلك؛ لأجل الضرورة
“Membuka wajah bagi wanita karena alasan darurat, seperti pada pertanyaan yang Anda sebutkan (yaitu pemeriksaan keamanan, membuat paspor, membuat KTP) ketika memang dibutuhkan untuk membuka wajah sehingga bisa dicocokan identitasnya, jika memang kondisinya darurat untuk melakukan hal itu maka tidak mengapa. Karena kondisi darurat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.14486).
Demikian juga ketika terjadi musibah atau bencana alam, sehingga seorang wanita berupaya untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dengan segera dan wajahnya dalam keadaan terbuka. Atau ketika ia dalam kondisi sakit dan membutuhkan nafas lebih banyak, sehingga wajahnya dibuka. Atau ketika ada ancaman keras dari pemerintah bagi yang menutup wajah. Semua ini kondisi darurat yang membolehkan membuka wajah. Tentunya sampai hilang kondisi daruratnya, bukan untuk terus-menerus. Wallahu a’lam.
Inilah beberapa kondisi yang membolehkan wanita yang mewajibkan menutup wajah untuk membuka wajahnya. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40760-beberapa-kondisi-wanita-bercadar-boleh-memperlihatkan-wajah.html